Menilik Hari Guru dan Sistem Pendidikan dalam Islam

Jika berbicara tentag hari guru tanggal 25 November tentunya tidak terlepas dari yang namanya sisitem pendidikan. Para ulama telah menulis banyak kitab untuk menjelaskan mengenai kewajiban dan hak para guru dan siswa, serta sifat-sifat yang harus dimiliki oleh keduanya dalam proses belajar mengajar. An Nimari Al Qurthubiy misalnya telah menulis dalam kitabnya Jami’ bayaanil ‘ilmi wa fadhlih mengenai perilaku guru dan siswanya, begitu pula Imam Al Ghazali dalam kitab Fatihatul ‘Ulum dan Ihya Ulumuddin menjelaskan tentang sifat-sifat kesucian, penghormatan, dan menempatkan guru langsung berada setelah kedudukan para nabi.

Rasulullah saw. bersabda: “Tinta para ulama lebih baik dari darahnya para syuhada”. Begitu pula seorang penyair Arab, Syauqiy bek mengakui pula tentang nilai seorang guru dengan pernyataannya: “Berdiri dan hormati guru dan berilah ia penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul”.
Guru merupakan spiritual father bagi siswanya. Hal ini disebabkan guru memberikan bimbingan jiwa siswanya dengan ilmu, mendidik dan meluruskan akhlaknya. Menghormati guru berarti penghormatan terhadap anak-anak kita, menghargai guru berarti penghargaan terhadap anak-anak kita. Dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang. Bahkan Abu Dardaa melukiskan hubungan guru dan murid itu sebagai pertemanan dalam kebaikan dan tanpa keduanya maka tidak ada kebaikan.
Itulah bagaimana Islam telah menggambarkan tentang Guru. Jika kita kaitkan antara Guru dan sistem Pendidikan. Apa yang terjadi pada system pendidikan kita saat ini?
Fakta yang menyakitkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia berada di urutan 12 dari 12 negara Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam. Sementara itu, berdasarkan hasil penilaian program pembangunan PBB (UNDP) pada tahun 2000 menunjukan kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara atau sangat jauh dibandingkan negara Singapura yang berada pada urutan ke-24
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan, mulai dari peletakan filosofi pendidikan, penyusunan kurikulum dan materi ajar, kualifikasi pengajar, proses belajar mengajar hingga budaya sekolah/kampus sebagai hidden curiculum, yang sebenarnya berperanan sangat penting dalam penanaman nilai-nilai.
Megaproyek “pengkapitalismetisasian pendidikan” yang memaksa sistem pendidikan Indonesia tunduk dan terdikte pada aturan baku “pembisnismahalan” seluruh pembiayaan yang berkenaan dengan kebijakan seputar pendidikan, terpaksa menyeret publik pada perilaku pembodohan-bukan pencerdasan. Wajah pendidikan di negeri ini sekarang disinyalir tak mampu merubah generasi ini menjadi generasi yang dapat melakukan perubahan besar bagi bangsa, bahkan mungkin akan mengalami kejatuhannya.
Pendidikan sekuler-materialistik juga memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material, kekinian dan serba profan serta memungkiri hal-hal yang bersifat transedental dan imanen. Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Lalu bagaimanakah kita memperbaiki sistem pendidikan kita agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu bagi warga negara Indonesia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Perhatian Rasulullah saw. Terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak, khalifah Umar bin al-Khathab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar=4,25 gram emas).
Pendidikan dalam Islam harus kita pahami sebagai upaya mengubah manusia dengan pengetahuan dengan sikap dan prilaku yang sesuai dengan kerangka nilai tertentu (Islam). Secara pasti tujuan pendidikan Islam yaitu menciptakan SDM yang berkepribadian Islam, dalam arti cara berfikirnya berdasarkan nilai Islam dan berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam. Begitu pula, metode pendidikan dan pengajarannya di rancang untuk mencapai tujuan tadi. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan knowledge transfer, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak. Dalam kerangka ini maka diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah (negara) terhadap prilaku peserta didik, sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi Islam.

Tinggalkan komentar