ACEH MERDEKA

Referendum telah menjadi kesepakatan bulat
rakyat Aceh. Demikian halnya, negara
kesatuan RI, yang didalamnya termasuk Aceh
sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Satu sisi
hampir sebagian penduduk Indonesia
mengkhawatirkan Aceh lepas dari Indonesia,
disisi lain sebagian kelompok di Aceh sendiri
berusaha untuk mewujudkan Aceh merdeka.
Benarkah masyarakat Aceh secara
keseluruhan menginginkan dirinya merdeka
secara de jure dari republik Indonesia atau
itu hanya sekedar luapan dari perasaan
ketidakadilan yang mereka terima selama
ini?
Sekilas sejarah Aceh
Aceh adalah satu dari propinsi Indonesia
yang memiliki sejarah panjang.
Masyarakatnya multietnis yang tiap
daerahnya memilik tradisi dan bahasa
masing-masing. Namun begitu, ditengah
perbedaan ini jarang terjadi konflik satu
sama lain. Bahkan bisa dibilang diantara
mereka sangat solid dan saling menghargai.
Karena itu sangat wajar jika kita temukan
adanya keterikatan psikologis yang kuat
dalam kehidupan sosial masyarakat disana.
Dan salah satu penopang hubungan sosial
yang kuat ini berasal dari hirarki
struktural (tradisional), yang didalamnya
terdapat bentuk sentralisasi kepemimpinan
yakni antara Teuku dan Teungku. Teungku
adalah gelar yang diberikan (masyarakat)
atas keberhasilannya melewati bentuk
pendidikan khas disana. Tradisi ini ada
kemiripan apa yang disebut sebagai
Ayatullah di Iran. Seorang yang akan
meraih gelar harus melewati berbagai
pendidikan, dan tiap tingkatan
mendapatkan gelar tersendiri sebelum
sampai pada maqam Teungku. Sedangkan
Teuku adalah para bangsawan yang bersifat
turun temurun.
Selama ini Teungku lebih identik seorang
Ulama yang memiliki kedekatan dengan
masyarakat, karena mereka memiliki sifat
yang kharismatik bagi masyarakat awam
selain pengakuan pendidikan dimata
masyarakatnya selama ini. Sedangkan
posisi Teuku sendiri dalam
perkembangannya memiliki makna yang
negatif ditengah pemahaman masyarakat.
Sebab selama penjajahan kolonial, teuku
yang lebih banyak memfungsikan dirinya
sebagai saudagar (borjuis), memiliki
keterikatan erat dengan pihak penjajah.
Bagi orang Aceh mereka adalah
pengkhianat. Oleh sebab itu, sekarang ini
ada kecenderungan bagi para keturunan
teuku merasa tertutup untuk menunjukkan
identitas dirinya. Selama masa tradisional
inilah posisi penting pengatur masyarakat
dipegang para teungku. Tatanan struktural
tradisonal saat itu sangat terpusat pada
kharisma seorang teungku sehingga terjadi
ikatan yang sangat emosional secara timbal
balik dengan masyarakat. Tentu kita tidak
lupa terhadap perang Aceh melawan
Belanda,dimana kegigihan dan
kesolidannya sangat terlihat. Dan selain itu,
seorang pemimpin begitu strategis posisinya
dimata masyarakat Aceh dan para teungku
waktu itu yang menggerakkan mereka.
Kegigihan rakyat Aceh selama proses
kemerdekaan dalam melawan Belanda tidak
dapat diragukan lagi. Tentu banyak jasa
yang tidak bisa dibalas, lebih-lebih ketika
rakyat Aceh membantu Indonesia dizaman
Soekarno. Ketika itu Belanda dan Inggris
mendarat kembali karena tidak mengakui
kemerdekaan Indonesia. Dan dalam
keadaan terdesak, saat itu masyarakat Aceh
menyumbangkan hartanya pada Indonesia
sehingga terbeli dua pesawat terbang untuk
membantu mengusir penjajah. Dalam
sebuah perjanjian sebelumnya, kompensasi
dari bantuan rakyat Aceh sendiri oleh
Sukarno akan dibalas dengan kemerdekaan
Aceh. Namun perjanjian itu sendiri
akhirnya “dikhianati” Soekarno, sehingga
membuat marah pemimpin Aceh waktu itu
yakni Daud Beureh. Kekecewaan ini
akhirnya menimbulkan sebuah
“pemberontakan” meskipun akhirnya
dicapai kompromi bahwa Aceh dijadikan
sebagai daerah Istimewa. Namun terlepas
dari status tersebut, sebagian masyarakat
Aceh sendiri memendam perasaan
dikhianati yang tidak mudah dihapus. Yang
terakumulasi hingga sekarang.
Benih “Merdeka”
Zaman berubah, dan begitu pula nasib
rakyat Aceh dimasa Orba. Pada masa orba
terjadi pemusatan pembangunan besar-
besaran. Konsep developmentalisme dalam
ekonomi menjadi jargon utama dimana
dalam tahapan-tahapan yang hirarkis akan
tercapai kemakmuran. Begitu pula yang
terjadi di Aceh. Selama masa Orba terjadi
dua hal penting yang mempengaruhi
tatanan masyarakat Aceh yakni yang
pertama terjadinya proses birokratisasi
yang menggeser tatanan struktural
tradisonal sebelumnya, dan yang kedua
terjadinya ketimpangan dalam proses
pembangunan dalam kaitannya dengan
proses tradisonal menuju modernisasi.
Kedua hal ini tentunya memiliki
keterikatan satu sama lain. Sejak adanya
penempatan para birokrat-birokrat
pemerintahan, mulai terjadi gesekan
dimana para pamong-pamong termasuk
didalamnya teungku yang selama ini
menjadi elit masyarakat mulai terdesak
fungsinya. Namun rakyat Aceh sendiri
masih mempercayakan kepada tatanan
tradisional (para teungku) seperti yang
sebelumnya berjalan. Akhirnya terjadi
kristalisasi situasional, dimana satu sisi
birokrat pemerintahan tidak menyentuh
fungsinya secara optimal di masyarakat
luas dan disisi lain muncul polarisasi yang
memecah hubungan sosial dalam legitimasi
struktural. Sedangkan dalam sebuah
negara, regional, ataupun lingkup etnis
hubungan timbal balik ini sangat penting
sebab akan memiliki implikasi luas bagi
hubungan daerah-pusat, khususnya bagi
system sentral seperti Indonesia.
Sejak terjadinya pembangunan di wilayah
Aceh, tentunya secara tidak sadar terjadi
proses modernisasi. Namun sayangnya,
perbedaan yang menyolok didalam proses
transformasi dari tradisonal ke modern
tidak dapat disikapi dengan baik oleh
pemerintah pusat. Sejak awal,
pembangunan-pembangunan yang
dilakukan di Aceh terlihat sangat eksklusif
sifatnya. Hal ini dapat ditemukan adanya
wilayah khusus industrial dimana-mana.
Daerah ini diciptakan bagi para pendatang
yang bekerja bagi perusahaan tersebut dan
dibangun segala macam sarana yang “lebih
modern” disekitarnya. Yang tragis adalah
wilayah ini dibatasi dengan “pagar-pagar”
yang hanya menghalangi proses sosialisasi
antara penduduk asli-pendatang, yang
secara bersamaan semakin meningkatkan
kecemburuan sosial yang menyolok
dimasyarakat. Proses ini cukup lama terjadi
dan selama itu pemerintah pusat tetap
menjalankan kebijakannya yang
mengabaikan munculnya reaksi psikologis
historis-kultural dan tetap bertahan pada
pembangunan fisik semata.
Kecemburuan sosial ini akhirnya
melahirkan adanya ranjau-ranjau yang
mengancam keutuhan masyarakat. Dari
lapisan masyarakat, akhirnya tumbuh
kelompok-kelompok kecil yang reaktif
melihat situasi ini dan sekaligus
memanfaatkannya. Mereka pada
hakekatnya berangkat dari fenomena
ketimpangan sosial murni, sehingga terjadi
kejahatan-kejahatan di pusat-pusat wilayah
industrial. Namun karena banyak faktor
yang mendorong terjadinya diskomunikasi
antara rakyat Aceh dengan pemerintah
pusat, dan juga kebijakan berat sebelah
yang juga mendapatkan respons yang
sebaliknya, maka akhirnya terjadi
kebijakan yang menggunakan pendekatan
militeris (dan kita ketahui Orba identik
dengan kekuasaan Militer) dalam
penyelesaian masalah ini. Alasan
penurunan militer sendiri untuk
menghadapi para GPK (Gerakan Pengacau
Keamanan) yang sebenarnya merupakan
kelompok kecil pengacau. Dan
kemungkinan besar, istilah GPK sendiri
dimunculkan untuk mengangkat legitimasi
sejarah ” pemberontakan” rakyat Aceh di
zaman Soekarno sehingga mendapatkan
pembenaran.
DOM dan Kekejamannya
Masuknya tentara ke wilayah Aceh
dinamakan operasi Militer. DOM (Daerah
Operasi Militer) di Aceh ini akhirnya
semakin menimbulkan dampak yang
luarbiasa, ketika para tentara
menggunakan operasi kekerasan
terselubung atas nama menumpas GAM
(Gerakan Aceh Merdeka). GAM sendiri
sangat kontroversial sejarahnya dan tidak
ada korelasi yang jelas dengan rakyat Aceh
secara keseluruhan. Bisa jadi itu rumor
yang diada-adakan pihak militer namun
pada kelanjutannya malah memberikan
legitimasi secara tidak langsung pada
sekelompok orang yang memiliki obsesi
untuk memaksa kepentingannya sendiri.
Dalam operasi-operasi yang dilakukan
tentara, terjadi brutalitas yang ditimpakan
kepada masyarakat sipil. Pemerkosaan,
pelecehan seksual, pembunuhan,
perampokan dan pemaksaan-pemaksaan
selalu terjadi setiap saat. Masyarakat
mendapat teror psikologis yang
menciptakan situasi saling curiga
mencurigai. Ditemukannya tulang-tulang
yang berserakan kemudian hari semakin
membuktikan kejahatan tentara tidak bisa
dibalas dengan kompensasi apapun.
Pemerkosaan yang disaksikan oleh suami
dan anak-anaknya sendiri seperti yang
terdapat diberita-berita dan janda-janda
yang menangisi suaminya menjadi
kenyataan bagi kita bahwa kemanusiaan
kita dicoreng didepan mata telanjang. HAM
yang selama ini didengungkan dimana-
mana menjadi bahasa pengantar seminar
semata, sedangkan pada saat yang sama
dibelahan daerah lainnya kejahatan
terhadap HAM terjadi setiap saat. Kini
nurani mereka meminta
pertanggungjawaban atas ketidakadilan
yang ditimpakan mereka selama ini, inilah
kemerdekaan bagi dirinya. Kemerdekaan
yang bisa mengembalikan hak asasi mereka
dan pengakuan martabat kemanusiaan yang
selama ini diinjak-injak.
Sekilas Data kekejaman tentara selama
DOM:
*Korban tewas: 30000 orang, sekitar 3000
jadi Janda (Al-Chaidir dkk, Aceh Bersimbah
Darah,1998).
*Sebanyak 16000 Anak Yatim dan 2470
orang hilang juga 375 orang cacat seumur
hidup ( Waspada; 10.12, 9.08 1998, 18.2
1999 )
*2,7 % orang mati tiap hari (kekerasan
terhadap perempuan) (Detik, 22.11 1999).
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM selama
DOM bermacam-macam motifnya, antara
lain: Penyiksaan dan Pembunuhan,
Pemerkosaan, Pelecehan Seksual, Penemuan
adanya Kuburan Massal, Pemerasan,
Penjarahan dan Pembakaran.
Mencari Solusi
Sejak Suharto lengser keprabon, suara
keadilan bagi rakyat Aceh semakin keras
terdengar. Memang peristiwa ini
merupakan multikomplek permasalahan
yang ditopang baik secara historis,
psikologis maupun sosiologis. Untuk itu,
bagi penguasa baru dalam menyikapi
permasalahan ini seringkali terjebak pada
alasan pembalikan bukti historis dan
berusaha melepaskan tanggungjawabnya
dari apa yang pernah terjadi. Untuk itu
dengan logika demikian, maka sangat wajar
jika rakyat Aceh berusaha ingin melepaskan
dirinya dari Indonesia. Pada masa Habibie,
tuntutan rakyat Aceh sendiri kurang
mendapat tanggapan serius. Bahkan apa
yang dijanjikan pemerintah waktu itu,
khususnya melalui sektor pendidikan tidak
terealisasikan. Akumulasi perasaan rakyat
Aceh dengan tanggapan ini semakin
menguatkan pada kesepakatan untuk lepas
dari Indonesia. Merasa bahwa jalur resmi
tidak memungkinkan, maka masyarakat
Aceh akhirnya menggunakan pendekatan
para pemimpin non-birokratis semacam
Amien Rais dan Gus Dur. Sehingga, suatu
hari terjadilah apa yang selama ini
diharapkan mereka, yakni membuka tirai
Referendum bagi Aceh merdeka.
Kini, Gus Dur, yang membuka tirai
Referendum bagi rakyat Aceh waktu itu,
telah menjadi presiden. Namun demikian,
toh untuk melepas dengan mudah Aceh dari
Indonesia tentu bukan perkara gampang.
Karena itu, sejauh ini dalam mencari solusi
permasalahan Aceh, bisa dikatakan dia
menggunakan dua pendekatan, secara
Internal dan Internasional. Secara Internal
difokuskan pada penanganan dalam negeri,
dimana elit-elit politik melakukan usaha
kompromi dalam mencari celah solusi. Dan
secara Internasional dilakukan Gus Dur
sendiri, bersamaan dengan lawatannya ke
berbagai negara. Mungkin orang bisa
melihat hasil pengaruh dari pendekatan
Internasional, dimana Amerika mendukung
kesatuan negara Indonesia. Kemudian
dilanjutkan pada pendekatan negara-negara
Asia dan Timur Tengah. Tentu logis jika
salah satu tujuan pendekatan ini adalah
membendung dari kekuatan luar jika
nantinya ikut campur menggiring GAM dan
mungkin rakyat Aceh (demi kepentingan
politik mereka) untuk membantu
kemerdekaan Aceh. Dengan langkah-
langkah strategis ini, tentunya saat ini Aceh
sendiri tidak memiliki kekuatan proses
pengakuan dalam konteks Internasional.
Namun demikian, pendekatan Internal
sendiri mengalami kebuntuan. Dari setiap
elit politik yang kesana tidak dapat
mencapai kata kesepakatan.
Dalam kenyataannya, perjuangan rakyat
Aceh sendiri mendapat simpati yang
minimal di dalam negeri. Ada beberapa
alasan yang mungkin mendasari akan
rendahnya interest masyarakat Indonesia
dalam menanggapi perjuangan rakyat Aceh.
Pertama, ada sebuah bentuk ikatan
pemikiran Orba yang sampai sekarang
masih melekat ditengah masyarakat bahwa
Aceh lepas karena ingin mendirikan negara
Islam ( Seperti yang didengungkan GAM).
Dan selama ini gambaran tentang negara
Islam sendiri sangat buruk-terlepas dari
pembahasan empiris maupun teoritis yang
bersifat kontroversial. Yang kedua, ada
pengaruh trauma terhadap apa yang terjadi
dengan Timor-Timur belum lama ini. Untuk
itu, tidak sedikit analisis para tokoh yang
menyimpulkan bahwa lepasnya Aceh sama
dengan menggulirkan proses disintegrasi
bangsa Indonesia secara keseluruhan
terlepas dari sisi historis eksistensi Aceh
bagi Indonesia selama ini. Dan pada ujung-
ujungnya gambaran Indonesia sebagai
Yugoslavia kedua semakin menguat jika ini
terjadi. Dan belum lama ini sudah terjadi di
Irian Jaya pendirian bendera yang
disaksikan ribuan rakyat Irian. Tentu
situasi ini memberikan implikasi khusus
bagi masyarakat Indonesia sehingga
mengabaikan faktor-faktor khusus penyebab
sebenarmya dari tuntutan rakyat Aceh.
Situasi demikian memiliki dorongan positif
bagi pemerintah dan sebaliknya semakin
memojokkan rakyat Aceh, yang tentunya
bisa berakibatkan pada dua arah antara
cooling down secara psikologis bagi tawaran
rakyat Aceh atau malah menimbulkan
antagonisme yang semakin menguatkan
perlawanan rakyat Aceh terhadap
pemerintah. Lalu apa solusinya?
Aceh “Merdeka”
Seperti yang diakui sendiri oleh Gus Dur
bahwa kelompok yang memiliki massa
adalah teungku-teungku dayah
(dayah=pesantren). Ketika pertama kali,
kata referendum digulirkan oleh
Mahasiswa, tidak semua sepakat khususnya
GAM terhadap kata tersebut. Namun
semenjak kata ini menjadi kesepakatan para
teungku, masyarakat awam, Mahasiswa,
LSM-LSM dan terakhir GAM secara sepihak,
maka semakin jelas munculnya kesepakatan
bersama, meskipun pada saat yang sama
semakin mengkhaburkan batas sebenarnya
dari kepentingan murni antar kelompok
dan masyarakat Aceh secara keseluruhan.
Sebab bukan tidak mungkin GAM sendiri
yang muncul bermacam-macam, memiliki
kepentingan yang berbeda dan
memanfaatkan situasi. Untuk itu, meskipun
kata referendum menjadi kebulatan semua
lapisan golongan di Aceh, namun ada satu
keyakinan bahwa tidak semua rakyat Aceh
ingin lepas dari wilayah Indonesia.
Keyakinan ini tentunya dilandaskan pada
beberapa argumen, yakni adanya
ketidakpastian bagi sebuah perubahan di
Aceh jika merdeka. Karena secara politik
Internasional tidak mendapatkan dukungan
yang luas dan juga ada kecenderungan kuat
terjadinya konflik antar kelompok untuk
memperebutkan kekuasaan disana pasca
kemerdekaan. Selain itu, argumen ini
diperkuat adanya keraguan bahwa tiap
rakyat Aceh sendiri belum tentu mengerti
akan apa yang menjadi tuntutannya yakni
referendum untuk Aceh merdeka. Sebab
luapan psikologis lebih banyak mengikat
secara emosional dalam menelurkan
gagasan Aceh Merdeka daripada sebuah
pemahaman yang tampak rasional.
Saat ini birokrasi pemerintahan, MUI dan
semua unsur masyarakat telah larut dalam
kata referendum. Namun begitu, akutnya
permasalahan Aceh ternyata tidak membuat
presiden kita mencari kompromi yang real
secepatnya dengan rakyat Aceh. Sedangkan
pada saat ini, anak-anak di Aceh tidak
mendapatkan pendidikan normal karena
gedung-gedung sekolahan dibakar oleh
kelompok orang yang tidak
bertanggungjawab, terjadinya eksodus
besar-besaran, fungsi keamanan lumpuh
total, terjadinya kejahatan-kejahatan,
beredarnya rumor-rumor yang
menggelisahkan dll. Apakah memang situasi
ini dibiarkan untuk menjadi satu alternatif
lain sehingga masyarakat Aceh menyerah
terhadap kesepakatan referendum? Tentu
masih jadi pertanyaan. Memang
sayang ,selama ini hakekat dari keinginan
masyarakat Aceh untuk merdeka tidak
pernah disikapi secara kooperatif
melainkan sebaliknya konfrontatif.
Pernyataan-pernyataan dari pejabat militer,
salah satunya ide tentang darurat militer
merupakan satu bentuk ketidakpedulian
dalam menyikapi tuntutan rakyat Aceh.
Makna dari hati nurani kata Aceh Merdeka
sendiri sebetulnya toh bisa dijawab dengan
memberikan kepastian yang memuaskan
secara psikologis. Sebab kata merdeka
secara filosofis memiliki makna psikologis
yakni merdeka dari rasa ketakutan, rasa
keadilan, keinginan untuk memulihkan
semua hal yang pernah menjadi mimpi
buruknya, santunan bagi janda-janda yang
ditinggal suaminya, pengembalian atas hak-
hak mereka, proses hukum yang transparan
terhadap kejahatan tentara selama DOM dan
jawaban-jawaban langsung yang
direalisasikan berlandaskan kemauan yang
kuat. Mereka tentu satu bagian dari diri
kita dan tentunya keliru jika kita
meletakkan mereka sebagai komoditas
politik sehingga menyisakan gambaran vis a
vis secara berlawanan.
Permasalahan Aceh memang benih dari
sebuah permasalahan nasionalisme dan
etnis. Dengan wilayah multietnis dan
budaya maka sangat mungkin proses
disintegrasi di Indonesia sangat rentan
terjadi jika bangsa Indonesia tidak disatukan
dalam toleransi real dalam pluralisme serta
iklim demokratisasi yang memberikan
perhatian kepada minoritas sekaligus penye-
imbangan pembangunan daerah-pusat.
Benih demokrasi yang mulai berkembang
saat ini di era Reformasi tentu tidak
diharapkan surut. Untuk itu, permasalahan
Aceh bisa jadi memberikan peluang bagi
munculnya diktator baru (militeris) jika
permasalahan etnis dan bentuk-bentuk
komunalisme dari ikatan kultur atau
kelompok agama tidak disikapi secepatnya
dengan arif. Dan jika itu terjadi, sebuah
kegagalan harus dibayar mahal bagi
seluruh rakyat Indonesia dan generasi
mendatang. Wallahua’lam.

rasa yang tak bisa ku ungkapkan

terdiam ku terdiam
melihat kau tesenyum
terpaku ku terpaku
menatap indahnya wajahmu
dan kini aku bahagia
walau ku tak bisa untuk bersamamu
dan kini aku bahagia
walau ku tak bisa untuk mendekatimu
ada rasa yang tak bisa ku ungkapkan
ada rasa yang tak bisa ku katakan
karena aku tak bisa untuk bersamamu
karena ku sadar siapakah diriku
yang hanya bisa untuk mengagumimu
dan kini aku bahagia
walau ku tak bisa untuk bersamamu
dan kini aku bahagia
walau ku tak bisa untuk mendekatimu
ada rasa……
yang tak bisa……
tak bisa aku ungkapkan
kepadamu………..